Rabu, 16 Maret 2011

This Blog is Moved to www.adityarizki.net

THIS BLOG IS MOVED TO
...visit the new site for new updates...
thank you, visitor

Kamis, 03 Februari 2011

Who Am I? Citra Kabur Mahasiswa

Tidak salah, saya adalah seorang mahasiswa tingkat akhir ketika tulisan ini dibuat. Sudah tiga tahun lebih saya menempuh studi di lain kota di mana tempat saya lahir dan dibesarkan. Dulu ketika pertama kali saya menjejakkan kaki di kampus ini, saya mulai hidup prihatin, jauh dari orang tua dan melakukan segalanya secara mandiri. Memang sudah saatnya saya berlaku demikian. Saya bertanya kepada ayah saya yang dulu juga pernah merasakan kuliah dan ia pun melakukan hal yang sama. Betapa ia adalah ayah yang hebat bagi saya, berjuang untuk meraih yang terbaik dari nol hingga menjadi seperti sekarang ini. Ia selalu tegar menghadapi semua itu dan menjalaninya dengan rasa prihatin apa pun keadaannya. Itu semua dicontohkan kepada kami sebagai putra-putra terbaiknya agar bisa menjadi teladan di kemudian hari‘

Bentuk Sepeda yang Pernah Saya Gunakan

Saya merasa beruntung mempunyai orang tua yang tegas, selalu membimbing saya ke arah yang benar, meskipun terkadang harus melawan ego. Saya terkadang teringat pesan orang tua untuk selalu hidup sederhana dan tidak bermewah-mewahan. Hampir kurang lebih satu setengah tahun saya beranikan diri untuk pergi ke kampus bolak-balik dengan berjalan kaki setiap hari. Jarak tempat kos dan kampus tidak terlalu jauh, jika dihitung sekitar satu kilometer. Saya tidak pernah mengeluh dengan keadaan ini, karena saya sudah terbiasa. Sejak di jenjang SMP hingga SMA saya selalu mengendarai sepeda onthel setiap hari ke sekolah, meskipun kami mempunyai sebuah sepeda motor.

Perasaan iri melihat teman-teman atau orang lain yang lebih hebat pasti selalu ada. Justru semakin saya melihat perbedaan-perbedaan itu, saya menjadi semakin terbiasa dan berusaha memahami keadaan. Bukan berarti kami adalah orang tak mampu, tetapi lebih kepada moral kebenaran  yang harus dijaga. Saya menjadi lebih peka kepada lingkungan sosial, betapa banyak orang yang nasibnya lebih buruk dari kita, sementara orang-orang di sana “sliwar sliwer” tak bertanggung jawab dan adu kehebatan tanpa berkaca diri. Saya kira hal-hal semacam ini sulit dilakukan orang lain, terlebih mereka-mereka yang mudah terpengaruh lingkungan, ibaratnya “buah jatuh pasti tak jauh dari pohonnya”.

Pengemis Lebih Buruk Dari Kita

Hari demi hari saya jalani dengan segala tantangan, berfokus pada kuliah, mencoba hal-hal baru, dan menata hidup secara seimbang. Berusaha menjauhi sikap bermalas-malasan dan melakukan kegiatan dengan pikiran positif. Semua membuat kehidupan saya lebih berwarna, ada kalanya harus jatuh dirundung duka, juga ada kalanya harus bangga ketika berdiri tegak di puncak. Saya berprinsip bahwa nasib kita ditentukan oleh diri kita sendiri, mana yang harus kita pilah sebagai kebenaran dan mana yang harus dijauhi sebagai kebusukan. Saya tidak perlu melakukan hal yang sama persis dengan sesuatu yang pernah dilakukan orang lain dan juga tidak harus selalu menerima pandangan serta pendapat orang lain.

Lebih baik mencoba menyanggah, meskipun pendapat kita belum tentu benar bagi orang lain. Ini lebih baik daripada kita terpaksa berpangku tangan menerima alasan dan pendapat orang lain. Karena pada dasarnya penyeragaman pandangan yang satu arus rentan akan tindakan konyol yang terkadang dilakukan secara berjamaah. Saya tak perlu menjabarkan lebih jauh tentang ini. Barangkali sudah banyak dicontohkan oleh pemimpin-pemimpin negeri ini yang bersembunyi di balik tirai kepalsuan. Juga pemikiran orang-orang mainstream yang gaya bicaranya tidak lebih dari mengaumkan kemunafikan yang tidak lucu sama sekali.

Jika kita lebih jeli melihat dunia yang lebih luas lagi, salah satu faktor tidak majunya negara ini adalah karena orang-orang kita yang mudah diperalat. Kejeniusan mereka dimanfaatkan orang lain yang dianggap mempunyai derajat lebih tinggi, padahal kita bisa melakukannya sendiri. Faktanya banyak tenaga ahli Indonesia yang hanya dikategorikan ke dalam kelas pekerja. Posisi-posisi seperti CEO, manager, atasan, dsb. yang kastanya lebih tinggi diduduki orang asing, terutama perusahaan-perusahaan asing yang melakukan investasi tanpa pandang bulu di negeri ini. Padahal yang diolah oleh perusahaan-perusahaan tersebut adalah murni hasil kekayaan sumber daya alam Indonesia.

Suasana Kerja yang Nyaman

Beberapa waktu yang lalu saya sempat magang di salah satu penyedia ISP. Saya sangat beruntung karena sumber daya manusia yang digunakan di tempat tersebut adalah orang-orang asli Indonesia yang pantang menyerah membangun infrastruktur di bidang kemajuan teknologi. Banyak pelajaran yang saya ambil dari sana, terutama dalam hal suasana bekerja. Tekun, disiplin, dan tidak individualis, semua berusaha melakukan yang terbaik untuk perusahaan. Pimpinan tidak segan untuk berbaur kepada bawahannya, bahkan sulit membedakan mana yang berposisi sebagai pimpinan, karyawan, maupun pekerja fisik. Mungkin inilah yang harus dicontoh oleh para pemuda Indonesia yang nantinya akan meniti karir di dunia kerja.

Saya jadi teringat sebuah lirik lagu terbaru dari Superman Is Dead yang judulnya “Jadilah Legenda”. Akhir-akhir ini, lagu ini adalah lagu penyemangat saya sembari melihat mimpi-mimpi saya ke depan.

Hembus angin yang terasa panas, keringat menetes di dada

Tiada henti kau bekerja keras, berjuang demi cinta

Untuk Indonesia… Jadilah Legenda…

Walau dihancurkan disakiti kau tetap berdiri disini

Untuk Indonesia… Jadilah Legenda…

Kita bisa dan percaya

Darah Indonesia, Akulah halilintarmu

Darah Indonesia, Menggegar tuk selamanya

Darah Indonesia, Walau badai menghadang

Kau takkan pernah menghilang

Bagi saya lirik tersebut mempunyai makna yang luas dan berarti, terutama melihat keadaan Indonesia saat ini. Saya mengartikan lirik tersebut sebagai sebuah citra seorang mahasiswa yang lulus dan mencari kerja demi kemajuan bangsanya. Lulusan mahasiswa seharusnya adalah roda penggerak utama kemajuan suatu bangsa, karena darinya akan muncul generasi pengikut yang juga akan meniru dan melestarikan usaha-usaha pendahulunya. Dibutuhkan orang-orang yang bekerja keras dan selalu semangat dalam menghadapi dunia kerja. Tidak ada lagi kata “malas” untuk mencari-cari alasan. Jika jatuh maka segera bangkit dan lawan rintangan-rintangan di depan. Dengan demikian, suatu saat nanti bangsa kita menjadi bangsa yang kuat, karena sudah sering ditempa untuk pantang menyerah. Untuk semua mahasiswa Indonesia, marilah mulai dari diri kita sendiri menentukan pilihan terbaik untuk kemajuan bangsa kita, kita adalah citra luhur yang dihormati masyarakat, jangan jadi pecundang yang hanya bisa diperalat. Kita adalah legenda, suatu saat nanti… Smile

 

Sumber gambar :

Kamis, 27 Januari 2011

Peran Komunitas Online dalam Sebuah Komunitas Nyata

Komunitas online adalah sebuah komunitas yang terbentuk secara virtual (maya) di berbagai layanan internet, misalnya forum online, mailing list, atau grup-grup tertentu. Komunitas yang dimaksud merujuk pada sekumpulan anggota/user yang mempunyai hobi atau ketertarikan yang sama terhadap sesuatu hal. Tujuannya yaitu untuk saling berbagi cerita, informasi, atau pengalaman lain antar anggotanya tanpa terikat oleh waktu dan tempat. Lain halnya dengan komunitas nyata yang berarti kegiatan yang biasa dilakukan oleh kelompok tertentu untuk bertemu dan bertatap muka secara langsung antar anggotanya.

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui tingkat kedekatan atau kesolidan psikologis antar anggotanya di komunitas online jika dibandingkan dengan komunitas dunia nyata yang sejenis. Penelitian ini dilakukan kurang lebih satu minggu dengan mengambil 50 responden secara acak. Metode penelitian yaitu mengisi survey online yang tersusun atas beberapa pertanyaan yang didalamnya terdapat beberapa pilihan jawaban (multiple choice single answer).

Berikut akan disajikan laporan, hasil survey, dan analisis atas data-data yang telah dikumpulkan atas beberapa pertanyaan, yaitu :

1. Apa jenis kelamin Anda?

a. Laki-Laki

b. Perempuan

clip_image002

Pertanyaan 1 ini digunakan untuk mengetahui demografi sampel responden dalam hal jenis kelamin. Tampak dari hasil di atas bahwa perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan dari responden acak yaitu 62% : 38%. Jumlah laki-laki lebih banyak dari jumlah perempuan.

2. Berapa kisaran usia Anda sekarang?

a. Kurang dari 20 tahun

b. Lebih dari 20 tahun

clip_image002[4]

Pertanyaan 2 ini digunakan untuk mengetahui demografi sampel responden dalam hal kisaran usia. Tampak dari hasil di atas bahwa perbandingan jumlah responden yang berusia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 20 tahun dari responden acak yaitu 22% : 78%. Jumlah responden dengan usia lebih dari 20 tahun lebih banyak dai jumlah responden dengan usia di bawah 20 tahun.

3. Apakah Anda pernah tergabung dalam suatu komunitas online?

a. Pernah

b. Tidak Pernah

clip_image002[7]

Pertanyaan 3 ini digunakan untuk mengetahui keikutsertaan responden dalam komunitas online. Sebanyak 94% responden mengaku pernah tergabung dalam suatu komunitas online, sedangkan 6% sisanya mengaku belum pernah tergabung dalam suatu komunitas online.

4. Apakah komunitas online yang Anda ikuti juga mempunyai komunitas nyata?

a. Ya

b. Tidak

clip_image002[9]

Pertanyaan 4 ini digunakan untuk mengetahui seberapa banyak sebuah komunitas nyata memiliki bentuk komunitas online-nya. Tampak dari hasil di atas bahwa sebanyak 86% responden mengatakan bahwa komunitas nyata yang diikuti mempunyai bentuk komunitas online-nya. Hanya 14% responden yang mengatakan bahwa komunitas nyata yang diikuti tidak mempunyai bentuk komunitas online-nya. Melihat hasil tersebut, berarti sebuah komunitas nyata sebagian besar telah memiliki bentuk komunitas online-nya.

5. Apakah Anda merasa nyaman dan leluasa untuk saling berbagi komunitas online tersebut?

a. Ya

b. Tidak

clip_image002[11]

Pertanyaan 5 ini digunakan untuk mengetahui tingkat kenyamanan pengguna dalam mengikuti atau sebagai anggota dari sebuah komunitas online. Sebanyak 86% responden menjawab bahwa mereka merasa nyaman dan leluasa dalam memanfaatkan komunitas online. Sisanya, 14% mengatakan tidak nyaman dan leluasa. Hal ini berarti tidak sepenuhnya sebuah komunitas online sesuai dengan kenyamanan pengguna.

6. Apakah Anda memperoleh manfaat yang lebih dari komunitas online tersebut?

a. Ya

b. Tidak

clip_image002[13]

Pertanyaan 6 ini digunakan untuk mengetahui pendapat responden tentang manfaat yang bisa diperoleh dari keikutsertaan dalam suatu komunitas online. Sebanyak 92% menyatakan bahwa mereka mendapat menfaat yang lebih ketika mereka tergabung di sebuah komunitas online. Sedangkan 8% sisanya, mereka menganggap tidak memperoleh manfaat yang berarti. Dengan demikian dapat diketahui bahwa sebagian besar responden memperoleh manfaat lebih ketika tergabung dalam sebuah komunitas online.

7. Apa alasan Anda mengikuti komunitas online tersebut?(pilih salah satu)

a. Sebagai pelengkap komunitas di dunia nyata

b. Sebagai media berbagi yang tidak terikat jarak dan waktu

c. Sebagai bukti bahwa Anda merupakan anggota komunitas tersebut

clip_image002[15]

Pertanyaan 7 ini digunakan untuk mengetahui pendapat responden tentang alasan mengikuti komunitas online. Sebanyak 16% responden beralasan bahwa keikutsertaan dalam komunitas online adalah sebagai pelengkap komunitas di dunia nyata. Sebanyak 80% responden beralasan komunitas online sebagai media yang tidak terikat jarak dan waktu. Sedangkan 4% sisanya menganggap bahwa keanggotaan di komunitas online sebagai bukti bahwa mereka merupakan anggota komunitas tersebut. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa pada kenyataannya sebuah komunitas online dibuat untuk memenuhi hasrat berkomunikasi yang tidak tergantung oleh jarak dan waktu, karena bisa dilakuka setiap saat, tanpa harus bertatap muka secara langsung dengan anggota lain.

8. Apakah Anda yakin bahwa, dengan mengikuti komunitas online tersebut, keakraban antar anggota menjadi semakin kuat?

a. Yakin

b. Tidak yakin

clip_image002[17]

Pertanyaan 8 ini digunakan untuk mengetahui pendapat responden tentang alasan mengikuti komunitas online. Sebanyak 16% responden beralasan bahwa keikutsertaan dalam komunitas online adalah sebagai pelengkap komunitas di dunia nyata. Sebanyak 80% responden beralasan komunitas online sebagai media yang tidak terikat jarak dan waktu. Sedangkan 4% sisanya menganggap bahwa keanggotaan di komunitas online sebagai bukti bahwa mereka merupakan anggota komunitas tersebut. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa pada kenyataannya sebuah komunitas online dibuat untuk memenuhi hasrat berkomunikasi yang tidak tergantung oleh jarak dan waktu, karena bisa dilakuka setiap saat, tanpa harus bertatap muka secara langsung dengan anggota lain.

9. Menurut Anda, mana yang lebih baik dan cocok untuk diri Anda?

a. Komunitas online

b. Komunitas dunia nyata

c. Keduanya mempunyai porsi yang seimbang

clip_image002[19]

Pertanyaan 9 ini digunakan untuk mengetahui pendapat responden tentang kecocokan pengguna dalam memanfaatkan sebuah komunitas berdasar preferensi pengguna. Dari hasil di atas sebanyak 10% responden berpendapat bahwa komunitas online sesuai dengan keinginan pengguna. 34% responden berpendapat bahwa komunitas nyata lebih tepat untuk mereka. Sedangkan sisanya, sebanyak 56% berpendapat bahwa keanggotaan di komunitas nyata dan online mendapat porsi yang seimbang, artinya keduanya saling melengkapi dan mempengaruhi.

10. Apakah setiap komunitas dunia nyata perlu dibuatkan bentuk komunitas online juga?

a. Perlu

b. Tidak perlu

clip_image002[21]

Pertanyaan 10 ini digunakan untuk mengetahui pendapat responden tentang seberapa perlu komunitas online untuk sebuah komunitas nyata. Dari hasil di atas 48% responden menjawab perlu dan 48% menjawab tidak perlu. Dengan demikian tidak setiap komunitas nyata dibuatkan komunitas dalam bentuk online-nya, tergantung keperluan dan seberapa eksis komunitas tersebut.

11. Apakah dengan adanya komunitas online akan mengurangi solidaritas di komunitas nyata?

a. Ya

b. Tidak

clip_image002[23]

Pertanyaan 11 ini digunakan untuk mengetahui pendapat responden tentang efek penggunaan komunitas online kaitannya dengan kesolidan/solidaritas di dalam sebuah komunitas. Sebanyak 80% responden menjawab bahwa dengan adanya komunitas online maka tidak akan mengurangi solidaritas di komunitas nyata. 20% sisanya berpendapat bahwa komunitas online akan mengurangi solidaritas di dunia nyata. Hal ini berarti komunitas online tidak banyak berpengaruh terhadap suatu komunitas nyata dalam hal solidaritas.

12. Apakah dengan adanya komunitas online akan memudahkan komunikasi antar anggotanya?

a. Ya

b. Tidak

clip_image002[25]

Pertanyaan 12 ini digunakan untuk mengetahui pendapat responden atas efektivitas penggunaan komunitas online dalam hal kemudahan komunikasi antara anggota satu dengan anggota yang lain. Dari hasil di atas tampak bahwa sebanyak 94% responden menganggap komunitas online akan memudahkan komunikasi antar anggotanya. Sisanya, 6% menjawab tidak setuju. Dengan demikian terbukti bahwa komunitas online dapat berfungsi sebagai pelengkap komunitas online dalam hal tukar pikiran atau komunikasi antar anggota.

13. Apakah komunitas online dapat secara efektif menggantikan kegiatan-kegiatan seperti yang dilakukan di komunitas nyata (misalnya rapat, pertemuan, gathering antar anggota)?

a. Ya

b. Tidak

clip_image002[27]

Pertanyaan 13 ini digunakan untuk mengetahui pendapat responden tentang efektivitas komunitas onine dalam kaitannya sebagai pengganti kegiatan tukar pendapat seperti yang dilakukan padai komunitas nyata. Dari hasil di atas tampak bahwa sebanyak 56% responden setuju bahwa komunitas online dapat menggantikan kegiatan tersebut. Sedangkan 44% responden sisanya menjawab tidak setuju . Jadi, tidak selalu sebuah komunitas hanya bergantung pada komunitas online yang ada, tetapi kadang-kadang juga pelu melakukan kegiatan secara nyata untuk menyampaikan berbagai pikiran anggotanya.

14. Apakah interaksi sosial dalam hal tatap muka antar anggota diperlukan dalam sebuah komunitas?

a. Perlu

b. Tidak perlu

clip_image002[29]

Pertanyaan 14 ini digunakan untuk mengetahui pendapat responden tentang perlunya interaksi tatap muka dalam sebuah komunitas. Sebanyak 88% responden setuju bahwa setiap komunitas membutuhkan interaksi tatap muka, meskipun mereka mempunyai komunitas online. Sedangkan 12% sisanya menganggap tidak perlu dilakukan interaksi tatap muka, karena dengan menggunakan komunitas online dianggap sudah cukup.

15. Menurut Anda, apakah komunitas online dapat secara efektif meningkatkan popularitas komunitas tersebut jika dibanding dengan komunitas nyata?

a. Ya

b. Tidak

clip_image002[31]

Pertanyaan 15 ini digunakan untuk mengetahui pendapat responden tentang efektivitas penggunaan komunikasi online dalam hal tingkat popularitas komunitas online jika disbanding komunitas nyatanya. Tampak bahwa sebanyak 64% responden setuju bahwa komunitas online diyakini dapat meningkatkan popularitas sebuah komunitas. Sedangkan 36% sisanya menjawab tidak setuju. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa keberadaan suatu komunitas online terkadang dapat meningkatkan popularitas komunitas tersebut.

16. Apa yang menjadi keunggulan utama dari sebuah komunitas online?

a. Kemudahan dalam penggunaan (tidak terikat jarak dan waktu)

b. Anggota bisa mencurahkan pendapat/pengalaman/cerita sebebas-bebasnya melalui tulisan

c. Memudahkan monitoring keaktifan anggota dalam komunitas

clip_image002[33]

Pertanyaan 16 ini digunakan untuk mengetahui pendapat responden tentang keunggulan utama sebuah komunitas online. Sebanyak 72% responden yang menjadi keunggulan utama sebuah komunitas online adalah penggunaan yang dapat dimanfaatkan setiap waktu dan di manapun. 26% responden menyatakan keunggulan yang lain, yaitu sebagai media untuk mencurahkan pendapat/pengalaman/cerita secara tertulis antar anggotanya. Sedangkan 2% responden sisanya menganggap keunggulan komunitas online adalah untuk memudahkan monitoring keaktifan anggota dalam sebuah komunitas.

17. Apa yang seringkali menjadi kendala dalam berkomunikasi dalam komunitas online?

a. Tidak semua anggota siap menggunakan media yang ada (koneksi internet, cara menggunakan forum online)

b. Tidak ada tatap muka antar anggota, sehingga interaksi social sedikit lebih berkurang

c. Topik yang dibahas pada komunitas online terkadang membuat bosan anggotanya

clip_image002[35]

Pertanyaan 17 ini digunakan untuk mengetahui pendapat responden tentang kendala yang dirasakan ketika menggunakan komunitas online. Sebanyak 62% responden setuju bahwa kendala yang dihadapi adalah tidak semua anggota siap menggunakan media komunitas online yang tersedia. 36% responden setuju dengan kendala tidak ada tatap muka antar anggota sehingga interaksi sosial sedikit berkurang ketika memanfaatkan komunitas online. Sedangkan 2% sisanya berpendapat bahwa kendala yang dihadapi yaitu karena topik yang dibahas pada komunitas online terkadang membuat bosan anggotanya.

KESIMPULAN

Dari hasil analisis di atas dapat disimpulkan beberapa hal atau poin penting mengenai pengaruh komunitas nyata dengan komunitas online (untuk komunitas yang sama) dilihat dari tingkat kesolidan antar anggotanya pada kedua bentuk komunitas tersebut, yaitu sbb:

[1] Sebagian besar anggota sebuah komunitas nyata memanfaatkan komunitas online sebagai media berbagi yang nyaman dan leluasa

[2] Tidak semua komunitas nyata mempunyai komunitas online, tetapi akan lebih baik jika keduanya saling melengkapi dan dimanfaatkan

[3] Dengan adanya sebuah komunitas online, maka anggotanya akan memperoleh manfaat yang lebih besar jika dibanding suatu komunitas nyata tanpa komunitas online

[4] Keunggulan dengan adanya keberadaan komunitas online melahirkan cara komunikasi yang tidak terikat oleh jarak dan waktu, sehingga dimungkinkan untuk mempererat solidaritas antar anggota (karena sering berkomunikasi)

[5] Interaksi sosial dalam hal tatap muka secara langsung antar anggota sangat diperlukan untuk membangun komunitas yang solid, karena dengan menjalankan komunitas nyata dan online secara bersamaan dengan sendirinya akan menaikkan popularitas sebuah komunitas

[6] Masalah yang sering dihadapi dalam pemanfaatan komunikasi online justru bukan karena kurangnya interaksi tatap muka antar anggota, tetapi lebih kepada cara penggunaan dan kebiasaan dalam memanfaatkan komunitas online

Jumat, 21 Januari 2011

Catatan Akhir Kuliah

inspiration1Lega sekaligus bersiap diri ketika hari ini bendera pertarungan kuliah di semester 7 telah tertancap megah dalam pikiran saya. Lega karena jika semuanya lancar, maka hari ini adalah ujian terakhir saya selama mengikuti perkuliahan jenjang S1. Meskipun ini belum berakhir, setidaknya beban-beban mengikuti kuliah semester depan telah tiada, dan tiba saatnya untuk mengambil sks skripsi. Banyak pengalaman manis yang saya dapatkan selama perkuliahan di kampus. Banyak mengenal orang-orang hebat, berdiskusi dengan teman-teman sekampus, dan pencarian jati diri. Tidak bisa dipungkiri, semua itu sangat berpengaruh untuk diri saya. Ketika saya sedang bangga meraih angan, merencanakan harapan, hingga terpuruk dalam kegelisahan.

Kehidupan kampus terkadang menyenangkan, tetapi ada kalanya membosankan. Setiap hari berpacu melawan waktu dan kemampuan diri untuk memecahkan tugas-tugas, praktikum, belajar menjelang ujian, dan hal-hal lain. Terlebih ketika di masa-masa akhir semester, banyak teman-teman yang mengeluh karena ujian semakin dekat, di lain sisi banyak tugas-tugas akhir yang datang di saat bersamaan. Tak jarang yang harus rela menjejakkan kaki-kaki mereka seharian di kampus untuk berbagi dan bekerja bersama menyelesaikan semua itu.

Tak sedikit di antara mereka yang selalu semangat dan berjuang menyelesaikan tugas-tugas itu. Tetapi tak jarang pula ada yang kurang aktif dalam menanggapi semua itu. Entah karena mereka mudah menyerah, sudah tidak bernafsu kuliah,  atau karena hal-hal yang lain. Saya kira tak hanya di kampus, tetapi selama masa sekolah saya dulu, hal-hal yang demikian juga telah populer. Memang tidak ada salahnya memilih jalan tersebut, tetapi jika merepotkan orang lain rasanya ada yang kurang pas dan puas, terlebih jika pekerjaan tersebut adalah pekerjaan kelompok. Kemampuan setiap orang memang berbeda-beda, tetapi sesungguhnya dengan kemampuan yang berbeda-beda itu harusnya bisa saling mengisi antara satu dengan yang lain, terserah bagaimana caranya. Pada intinya, itulah yang sebenarnya filosofi saling berbagi yang mutualisme (saling menguntungkan).

Semester depan praktis saya sediakan hanya untuk merencanakan dan mengerjakan skripsi. Sampai saat ini saya sama sekali belum tahu, apa topik yang nanti akan saya ambil. Tetapi setidaknya saya sudah mempunyai kisi-kisi atau gambaran tema yang akan saya jadikan topik skripsi. Tentu pada saatnya nanti, saya harus aktif mencari dosen pembimbing yang tepat. Tentu sudah saatnya saya mencari banyak referensi-referensi berharga yang siapa tahu bisa banyak membantu.

Di lain sisi, saya mulai berkaca diri, apa sih yang selama ini sudah saya dapatkan dari semua ini (kuliah)? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini, terlebih dengan kemampuan saya menguasai seluruh materi dan prakteknya belum berimbang. Padahal sebentar lagi dihadapkan pada posisi dimana saya harus bekerja atau melanjutkan kuliah. Akhir-akhir ini saya menjadi tersadar akan hal tersebut, saya mulai mencarinya di tengah-tengah tumpukan jerami. Tak lama kemudian saya temukan senjata yang bagi saya begitu bermakna, yaitu membekali diri dengan hal-hal positif, apa pun itu. Semua didasari keyakinan hati bahwa saya harus bisa lebih baik dari yang sebelum-sebelumnya. Semua butuh proses, usaha, dan doa yang setiap saat harus diarahkan dan diteriakkan.

Beruntung saya bisa masuk di salah satu jurusan di universitas ternama negeri ini. Sejak dulu saya memang sudah mengimpikan bisa masuk di tempat ini dan ternyata inilah jalan saya. Saya bukan orang yang aktif dalam organisasi, karena sejatinya saya tidak suka berorganisasi. Mungkin banyak orang yang menganggap organisasi itu penting, tetapi bagi saya tidak ada bedanya antara organisatoris dengan non-organisatoris. Bagi saya, predikat dan kemampuan diri seseorang hanya bisa diasah melalui jalan pikiran masing-masing dan lingkungan yang baginya paling nyaman.

Ada saatnya kita menjadi minoritas, juga ada saatnya kita menjadi mayoritas. Bagaimana jika berada di antara dua kelompok tersebut dan memposisikan diri kita dengan nyaman? Jika saya ada di posisi minoritas, maka saya akan lebih banyak diam, mencoba tenang, dan tidak gegabah menerima pendapat-pendapat kelompok mayoritas. Jika saya ada di posisi mayoritas, maka saya akan mengajak dan menjaga diri agar kelompok minoritas tidak merasa tersinggung. Setiap orang boleh berpendapat, tetapi tidak semua pendapat mereka harus kita iyakan dan yakini. Kita tidak perlu melakukan apa yang banyak orang lakukan, tetapi akan sangat terhormat bila kita melakukan dengan cara kita sendiri dan sesuai keyakinan. Dengan begitu, saya berkeyakinan bahwa saya harus banyak menghormati hak berpendapat orang lain, serta menghargai perbedaan-perbedaan yang ada.

Terkadang ada hal-hal dan keadaan yang membuat kita tidak nyaman, emosi tersulut, dan mudah mengeluh. Tetapi saya selalu bisa menghadapi semua itu dengan sekepal inspirasi yang saya usahakan. Banyak inspirasi yang datang silih berganti, terkadang memproyeksikan masa depan, terkadang melihat kesuksesan dan kehebatan orang lain, atau hanya melakukan hal-hal yang bisa membuat saya terhibur. Saya suka mendengar banyak musik dengan kehebatan nuansa dan lirik lagunya, lalu kemudian mencoba memainkan nada-nada itu dengan cerna. Jika sedang terbakar oleh hasrat membaca, maka saya banyak belajar dari buku-buku apa pun itu, yang saya inginkan. Di situ lah banyak ditemukan intisari permasalahan dan solusinya, sehingga terkadang belajar dari sana. Ibaratnya yang menurut kita baik diikuti, dan sisanya cukup diketahui saja. Tidak hanya dari buku, sekarang sudah banyak media yang menghias bumi, dari surat kabar, televisi, mobile gadget, hingga internet. Saya kombinasikan semua itu untuk menyaring mana yang kolot dan mana yang berkembang maju.

Rintik hujan menetes turun dari langit, seperti mengiringi tangan-tangan ini menulis kisah ini. Mata melihat jauh ke depan, diterangi sorot cahaya tajam. Jiwa seakan mulai tumbuh, siap mencakar musuh yang menghalangi langkah. Good luck, masih banyak kesempatan di sana… Smile tetap perangi kemunafikan, lihat dunia dari segala penjuru, dan bulatkan tekad hijaukan bumi…

Rabu, 12 Januari 2011

Kebebasan Jurnalistik di Balik Kasus Wikileaks

wikileaksKasus wikileaks yang baru-baru ini menjadi pemberiaan hangat di berbagai media massa dunia setidaknya telah membuktikan bahwa sistem keamanan militer negara adidaya sekelas Amerika Serikat bisa dijebol dengan mudah. Dialah Julian Assange yang telah berhasil mengumpulkan informasi-informasi tersebut secara rapi menggunakan media situs web. Julian Assange adalah seorang berkewarganegaraan Australia yang berusaha mempublikasikan informasi rahasia dunia melalui wikileaks.org.Ia dibantu oleh teman-teman lainnya membangun situs tersebut, dimana ia menjadi direktur.

Negara Amerika Serikat yang menganut sistem kebebasan jurnalistik sangat kerepotan saat menghadapi kebocoran informasi tersebut di dunia maya.Salah satunya yaitu kebocoran tentang jumlah korban perang AS-Irak yang berlangsung dari tahun 2004-2009. Situs tersebut mengatakan bahwa korban perang AS-Irak berjumlah 109.032, terdiri atas 66.081 warga sipil, 23. 984 musuh yang dicap sebagai pemberontak, 15. 196 pasukan pemerintah Irak, dan 3.771 pasukan koalisi. Sebanyak 31 warga sipil meninggal setiap hari selama periode 6 tahun. Sementara itu, catatan perang Afganistan yang dirilis oleh Wikileaks, pada periode yang sama, jumlah kematian sekitar 20.000 orang. Tercatat 5 kematian perhari selama 6 tahun masa pendudukan AS di sana. Selain itu, situs tersebut juga memberikan informasi tentang beberapa kekejaman tentara Amerika di Afganistan, Irak, juga komunikasi diplomatik yang bersubstansi kecurangan politik lainnya.

Walaupun sudah diblokir, akan tetapi sampai saat ini muncul banyak situs replikasi yang jumlahnya hingga 500 situs. Pihak berwenang Amerika berargumentasi bahwa Wikileaks bukan merupakan suatu karya genius melainkan hanya keahlian hacking kepada dokumen-dokumen yang bersubstansi politik dan menganggapnya sebagai tindakan illegal bahkan penuduhan kepada terorisme.

Freedom Jurnalistik memang bukan kebebasan informasi. Freedom Jurnalistik adalah penyajian informasi yang bertanggung jawab untuk mengungkapkan kebenaran. Informasi yang tidak berdasarkan kebenaran harusnya tidak diungkapkan. Bedanya kita dengan Amerika. Di Amerika, informasinya tersembunyi sehingga secara tidak sadar para jurnalis profesional di giring untuk menjadi stenografi pemerintah. Sementara di negara kita informasi yang beredar banyak yang ngawur sehingga dinamakan kebebabasan pers yang kebablasan bukan kebenaran informasi.

Jika saya lihat dari sisi keamanan informasi, sebuah negara barat (AS) yang kita kenal mempunyai infrastruktur teknologi informasi terbaik dibanding negara lain, ternyata masih bisa diintip oleh orang lain. Hal ini berarti sistem keamanan informasi yang dipasang masih sangat lemah. Dalam kenyataannya tidak hanya satu informasi yang berhasil dipublikasikan dan dibaca oleh seluruh dunia. Sudah seharusnya pemerintah AS segera tanggap dalam menghadapi masalah ini, entah itu dalam kebijakan, perbaikan infrastruktur, atau kepercayaan kepada sumber daya manusia yang ada.

Kebebasan jurnalistik (freedom of speech) untuk menyebarkan informasi berdasar kebenaran/fakta tampaknya dimanfaatkan oleh Julian Assange untuk menyebarkan banyak dokumen rahasia melalui situsnya, meskipun dokumen tersebut sifatnya illegal. Banyak yang menyayangkan hal tersebut terjadi, tetapi entah sengaja atau tidak sengaja dalam waktu yang bersamaan ia telah mempermalukan etika jurnalistik di sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Sudah seharusnya kebebasan jurnalistik harus didukung oleh sistem keamanan informasi yang handal, mengingat sudah jelas bahwa aturan atau undang-undang yang mengatur sistem jurnalistik di sebuah negara telah ditegakkan.

Jelas bahwa tindakan ini merupakan tindakan yang mungkin melanggar etika jurnalistik di AS. Untuk ke depannya diharapkan pemerintah AS bisa memberikan dan menegakkan hukum dengan tidak hanya berdasar pada bagaimana ia melanggar kegiatan tersebut, tetapi juga kelemahan sistem informasi yang menyebabkan dokumen-dokumen tersebut dapat dengan mudah diperoleh. Sehingga pada saatnya nanti, kasus ini bisa menjadi cermin bagi setiap orang, bahkan untuk contoh instansi/pemerintah di suatu negara bahwa sekecil apapun informasi, baik yang sifatnya rahasia maupun tidak rahasia adalah penting untuk dijaga dan diamankan. Berbagai usaha untuk melindungi kelemahan-kelemahan yang ada akan selalu ditingkatkan (upgrade) ketika ditemukan celah yang mungkin bisa dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

 

Referensi :

Ø http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2010/12/11/demokrasi-wikileaks/

Ø http://politik.kompasiana.com/2010/11/30/wikileaks-menyemai-angin-as-diterjang-badai/

Ø http://politik.kompasiana.com/2010/12/02/wikileaks-dan-etika-jurnalistik/

Ø http://politik.kompasiana.com/2010/12/03/wikileaks-vs-amerika/

Ø http://unik.kompasiana.com/2010/12/09/kebebasan-jurnalistik-bukan-kebebasan-informasi-kasus-wikileaks/

 

Source gambar : http://www.tdwclub.com/wp-content/uploads/2010/12/wikileaks.jpg

Senin, 10 Januari 2011

Bagian 4: Peran Mahasiswa di Era Teknologi Informasi

information-technology-25Tidak bisa disangkal lagi apabila sebagian besar mahasiswa-mahasiswa Indonesia adalah orang-orang yang melek akan teknologi. Jika ada beberapa diantara mereka yang belum begitu paham mengenai kaidah teknologi informasi, maka sudah dipastikan mereka adalah kelompok yang kurang beruntung. Jenjang pendidikan tinggi sudah seharusnya dimanfaatkan untuk mengenal lebih dalam perkembangan teknologi informasi sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan pembelajaran yang efektif di masa sekarang ini.

Mahasiswa-mahasiswa yang cerdas dan aktif adalah calon jati diri bangsa Indonesia. Mereka adalah kelompok yang dekat dengan masyarakat, mereka berjuang membela rakyat, dan mempunyai banyak ide kritis yang siap ditunjukkan di segala penjuru dalam berbagai bidang.

Pemanfaatan teknologi informasi dan telekomunikasi dalam membantu proses administrasi yang sifatnya darurat tidak luput dari peran mahasiswa. Beberapa waktu yang lalu, ketika Indonesia ditimpa berbagai musibah bencana alam, banyak mahasiswa dengan sukarela dan cepat tanggap membantu proses pendataan korban, pengungsi, hingga distribusi bantuan. Semuanya dilakukan secara cepat dengan bantuan infrastruktur teknologi informasi dan telekomunikasi yang ada. Ini lebih baik dari beberapa tahun yang lalu ketika teknologi seperti telepon dan internet masih belum berkuasa. Mahasiswa sebagai orang yang terdidik terbukti bisa menjadi rival yang baik untuk membantu kinerja pemerintah dan media massa.

Pihak universitas yang kental akan berbagai macam kegiatan riset dan penelitian, harus secara aktif mendorong mahasiswanya untuk berkarya menghasilkan ide-ide baru yang dapat memajukan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia. Universitas merupakan fasilitator dan media pendukung yang terbaik bagi mahasiswanya yang kesulitan mewujudkan inovasi dan pemikirannya yang terkadang membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit.

Peran mahasiswa untuk mendukung pemerintah dalam mewujudkan masyarakat informasi di tahun 2025 tidaklah mustahil jika dicanangkan sejak sekarang. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dan dapat direalisasikan secara berkelanjutan yaitu melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang mengangkat jargon Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat, yang diadakan setiap semester di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Tidak ada salahnya apabila pihak universitas dan pemerintah bekerja sama untuk membentuk tema khusus yang berkaitan dengan pengenalan teknologi informasi di masyarakat, sedangkan mahasiswa bertindak sebagai pelakunya.

Beberapa waktu yang lalu, pengalaman penulis yang pernah mengikuti program KKN PPM, sempat merasakan dampak yang luar biasa. Kegiatan tersebut kebetulan mengangkat tema pokok teknologi informasi. Salah satu kegiatan utama yang diadakan yaitu pengenalan dan pelatihan komputer kepada masyarakat dan pamong desa di Desa Argomulyo, Cangkringan, Sleman. Daerah tersebut dapat dikatakan termasuk daerah yang sudah merupakan perpaduan antara pedesaan dan perkotaan, dimana masyarakatnya sudah cukup mengenal dunia teknologi informasi.

Dari hasil pengamatan di lapangan, antusiasme masyarakat ketika mengikuti kegiatan tersebut sangatlah tinggi, dengan peserta yang sebagian besar adalah remaja kawula muda. Lain halnya dengan pelatihan yang dilakukan untuk pamong desa yang rata-rata berusia di atas empat puluh tahun, antusiasme mereka untuk belajar komputer sangat rendah. Melihat kenyataan tersebut, ternyata faktor usia masyarakat yang hidup di era informasi juga harus diperhatikan untuk memudahkan akselarasi kemajuan teknologi informasi di tahap selanjutnya. Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa kegiatan semacam ini sangat membantu dalam sosialisasi program masyarakat informasi yang digalakkan pemerintah.

Langkah konkrit yang dapat dilakukan oleh seorang mahasiswa untuk mengatasi kesenjangan tersebut, secara umum dapat dilakukan dengan berbagai tahap dan metode. Pertama, diawali dengan sosialisasi dan pengenalan yang mendasar tentang pentingnya masyarakat informasi agar dapat bersaing dengan dunia global. Kedua, perlunya pelatihan dan pembelajaran secara bertahap sesuai dengan kemampuan sumber daya dan prasarana yang dimiliki masyarakat. Ketiga, menanamkan pola pikir masyarakat akan pentingnya media informasi untuk meningkatkan produktivitas kerja di berbagai aspek kehidupan.

Dengan demikian, sudah saatnya peran mahasiswa dibantu oleh pemerintah dan masyarakat digerakkan di berbagai pendidikan tinggi Indonesia untuk menghadapi masalah kesenjangan digital yang terlalu renggang, sehingga kelak mimpi Indonesia mewujudkan masyarakat informasi benar-benar bisa dirasakan setiap lapisan masyarakat di mana pun mereka tinggal.

 

Source gambar : http://static.howstuffworks.com/gif/information-technology-25.jpg

Referensi

[1] Istiyanto Ph.D., Jazy Eko. Mempersempit Kesenjangan Digital. Majalah e-Indonesia, Volume I, No. 9, Februari 2006.

[2] Organization for Economic Co-Operation and Development, OECD 2001. Understanding the

Digital Divide. OECD Publication, Paris.

[3] Sekarniningsih, Titin. Desain Mobile Community Access Point (M-CAP), Mobile Internet, Depkominfo : Digital Divide atau Kesenjangan Digital di Indonesia. Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya.

[4] http://www.depkominfo.go.id

[5] http://www.detikinet.com/read/2010/12/12/131934/1522642/328/apa-sasaran-utama-pelaksanaan-desa-informasi

[6] http://www.detikinet.com/read/2010/12/12/113456/1522601/328/tifatul-resmikan-14-desa-informasi

[7] http://www.pln.co.id

Jumat, 07 Januari 2011

Bagian 3 : Tantangan, Regulasi, dan Kebijakan Pemerintah Menuju Masyarakat Informasi

digital-divideAda banyak tantangan, regulasi, dan kebijakan pemerintah yang harus segera dilaksanakan untuk menunjang keberhasilan masyarakat informasi di Indonesia, sekaligus memperkecil tingkat kesenjangan digital. Pemerintah dibantu Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo), dalam hal ini adalah sebagai motor utama, penggerak, dan motivator pemberdayaan masyarakat agar sadar akan teknologi.

Pembenahan infrastuktur teknologi informasi dan komunikasi, pembuatan program untuk masyarakat informasi secara berkala, penentuan regulasi dan kebijakan, serta penyediaan fasilitas untuk mendukung keseluruhan sistem ini perlu didiskusikan secara matang oleh berbagai pihak. Tidak hanya antar instansi, tetapi juga mengajak berbagai sekolah, universitas, dan elemen masyarakat untuk turut aktif membantu program-program pemerintah yang bersifat sosialisasi.

Dalam kaitannya dengan pembenahan infrastruktur, pemerintah harus mempersiapkan prioritas dan kebutuhan masyarakat di berbagai daerah. Hal ini untuk menghindari pembangunan infrastruktur yang tidak tepat sasaran. Misalnya pemerintah menggali berbagai informasi melalui survei-survei yang dilakukan secara periodik tentang keberadaan jaringan informasi dan telekomunikasi.

Pada kenyataannya masih banyak daerah pelosok, pinggiran, maupun perbatasan yang belum terjangkau oleh jaringan listrik, jaringan telepon (BTS dan kabel telepon), serta internet. Selain itu, juga perlu dilakukan penelitian mengenai kondisi sosial, budaya, dan pendidikan masyarakat setempat untuk mengetahui tingkat antusiasme dan kesadaran masyarakat, sehingga dapat dibedakan mana kelompok masyarakat yang sudah siap dan belum siap.

Beberapa waktu yang lalu pemerintah telah membuat beberapa program yang sudah dijalankan dan cukup bisa mendukung terwujudnya masyarakat informasi. Misalnya dengan pembangunan sehari satu juta sambungan listrik yang dilakukan PLN ketika memperingati Hari Listrik Nasional. Kemudian beberapa hari yang lalu Menkominfo, Tifatul Sembiring, juga baru saja meresmikan 14 desa berdering yang terletak di berbagai daerah perbatasan. Yang tidak kalah hebat yaitu peluncuran M-CAP (Mobile Community Access Point) atau dikenal dengan mobil warnet keliling oleh Depkominfo. Jika kegiatan semacam ini giat dilakukan dan berkelanjutan, serta benar-benar diterapkan, maka sedikit demi sedikit target pencapaian pemerintah akan semakin dekat.

Depkominfo sendiri telah menetapkan beberapa tahapan pencapaian untuk menuju masyarakat informasi Indonesia yang meliputi sbb :

  • Desa Perintis (2005) : Pada tahap ini sebagian besar desa belum terhubung dengan fasilitas telekomunikasi. Jumlah desa yang terhubung dengan fasilitas telekomunikasi masih dibawah 50 persen dari jumlah total desa di Indonesia.
  • Desa Berdering Terpadu (2010) : Pada tahap ini telepon dasar sudah tersedia di seluruh desa di Indonesia dengan jumlah sambungan minimal satu satuan sambungan telepon (sst). Layanan yang disediakan pada tahap ini masih terbatas pada layanan komunikasi suara.
  • Desa Online (2015) : Pada tahap ini diharapkan ada peningkatan kualitas dan kuantitas layanan hingga 10 sst untuk 1 desa, dilanjutkan dengan penyediaan barang akses internet.
  • Desa Multimedia (2020) : Pada tahap ini diharapkan pemanfaatan TIK sudah menjadi kebutuhan masyarakat desa dalam aktifitas sehari-hari dan menjadikan TIK sebagai sarana untuk meningkatkan kegiatan perekonomian di desa. Dengan adanya pemahaman yang baik terhadap TIK diharapkan akan menumbuhkan akses informasi baik telepon dan internet. Selain itu, perlu menyediaan konten yang berkelanjutan sehingga desa tersebut menjadi bagian dari komunitas informasi dunia.
  • Masyarakat Informasi (2025) : Hampir 50 persen penduduk Indonesia mempunyai akses informasi sesuai dengan yang diinginkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Pemaksimalan teknologi informasi hingga ke pelosok pedesaan melalui layanan e-economy dan e-health diharapkan dapat diterapkan.

Seiring dengan pertumbuhan dunia teknologi, terutama yang berhubungan dengan ketersediaan konten informasi, maka pemerintah mau tidak mau juga harus mulai merancang berbagai dasar regulasi dan kebijakan. Sebagai contoh yaitu tentang bagaimana mendidik masyarakat agar selalu membiasakan diri menggunakan konten yang sifatnya edukatif. Atau melindungi setiap individu pengguna media informasi dari hal-hal seperti kejahatan digital, perlindungan privasi, serta hak kebebasan untuk berpendapat.

Pemerintah sendiri telah mengesahkan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada tahun 2008 yang lalu. Hadirnya Rancangan Peraturan Menteri Konten Multimedia (RPM Konten) beberapa waktu yang lalu juga turut mengundang banyak pertanyaan yang justru merugikan banyak pihak. Di balik hal-hal yang sifatnya kontroversial terkait penyusunan suatu regulasi, hendaknya segera ditindaklanjuti dengan para pelakunya. Perlu diingat bahwa suatu saat nanti juga diperlukan pengkajian ulang dan pembaharuan regulasi yang pernah dibuat, karena perkembangan informasi dan telekomunikasi berlangsung begitu cepat dan berubah-ubah sesuai zamannya.

Kamis, 06 Januari 2011

Bagian 2 : Teknologi Informasi dan Pola Pikir Masyarakat

bridging-the-digital-divideKondisi pendidikan di Indonesia yang masih kurang merata, menyebabkan pola pikir masyarakat Indonesia untuk memahami kaidah teknologi informasi itu sendiri dinilai masih sangat kurang. Mungkin bagi mereka yang pernah mengenyam jenjang pendidikan hingga tingkat Sekolah Menengah Atas pada kurun waktu sepuluh tahun terakhir, masih dapat memahami seperti apa kehidupan di era informasi seperti sekarang ini.

Beruntung bagi para guru kita yang kebetulan mengambil bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi, yang sudah menjadi mata pencaharian mereka sehari-hari. Konsep pemahaman atas prototype-prototype teknologi informasi tentu melekat erat dalam pikiran mereka. Meskipun ada yang sudah paham, tetapi tetap saja masih terdapat perbedaan cara pandang antara mereka yang hidup di kota besar dengan segala infrastrukturnya dan mereka yang hidup di kota kecil/perbatasan/pinggiran yang masih minim, bahkan tanpa infrastruktur.

Di lain sisi, jika dijabarkan lebih luas lagi, maka sebenarnya ada tiga golongan masyarakat Indonesia dalam konsep masyarakat informasi hingga saat ini. Mereka adalah golongan masyarakat melek teknologi informasi, golongan masyarakat informasi menengah, dan golongan masyarakat gagap teknologi.

Masyarakat melek teknologi informasi adalah masyarakat yang dapat dikatakan sudah siap untuk menuju masyarakat informasi dalam arti yang sebenarnya. Mereka adalah orang-orang yang mampu memanfaatkan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi secara maksimal. Secara tidak langsung, pengetahuan mereka tentang dunia teknologi informasi juga sudah baik. Masyarakat golongan ini biasanya terdiri dari orang-orang yang memiliki komputer/laptop sekaligus media elektronik pendukung lainnya, mampu menggunakan internet dengan baik, atau para pakar dan tenaga pendidik di bidang teknologi informasi. Biasanya mereka tinggal di kota-kota besar atau hidup di antara orang yang sama-sama melek teknologi.

Masyarakat informasi menengah adalah golongan masyarakat yang sudah mengenal teknologi informasi dan komunikasi, tetapi belum mampu memanfaatkannya secara maksimal. Mereka adalah orang-orang yang baik secara langsung maupun tidak langsung terkena imbas oleh masyarakat melek teknologi, entah karena pergaulan atau hanya sekedar ikut-ikutan. Biasanya terdiri dari orang-orang yang telah memiliki perangkat telepon genggam (mobile phone) sendiri yang kaya fitur sehingga mereka dapat leluasa menggunakan fasilitas tersebut. Meskipun beberapa golongan ini sudah mengenal internet, tetapi mereka hanya menggunakan fasilitas yang sederhana, murah, dan meriah seperti warnet (warung internet), untuk sekedar menjelajahi berbagai situs yang sedang marak di pasaran secara umum.

Masyarakat gagap teknologi merupakan golongan masyarakat yang sangat tidak siap untuk menjadi masyarakat informasi. Mereka sama sekali tidak paham kaidah teknologi informasi secara umum. Entah itu masih buta dalam menggunakan fasilitas yang ada, infrastruktur yang belum memadai, hingga minimnya pengetahuan yang dikuasai mengenai teknologi informasi dan komunikasi. Mereka mungkin tidak terlalu asing dengan televisi, radio, dan perangkat elektronik sederhana lain. Golongan masyarakat ini merupakan golongan yang jumlahnya paling banyak daripada dua golongan lain. Golongan ini seringkali menjadi korban kesenjangan digital, jauh dari peradaban masyarakat informasi yang jumlahnya lebih sedikit.

Memang bukan pekerjaan mudah untuk mengenalkan teknologi komunikasi ke pedesaan dan daerah tertinggal di seluruh pelosok tanah air. Apalagi, kini baru tujuh persen dari sekitar 210 juta masyarakat Indonesia yang sadar teknologi. Itu saja terdiri dari pengguna komunikasi dari komputer biasa dan handphone, belum ada penggunaan internet. Angka ini sangat jauh dari negara maju lainnya, seperti Jepang dan China, yang sudah menjadi negara produsen, tak hanya pengguna.

Pendidikan memang penting, tetapi jika tidak diimbangi dengan praktek kebiasaan dan kesadaran manusia itu sendiri, maka program menuju masyarakat informasi tidak akan berjalan secara berkesinambungan. Tidak mudah membujuk orang tua kita yang sudah berusia berpuluh-puluh tahun hidup tanpa teknologi digital dipaksa untuk memahami teknologi yang baru muncul di awal milenium ketiga ini.

Pola pikir masyarakat yang masih beranggapan bahwa teknologi modern hanya dimanfaatkan untuk bidang-bidang yang sifatnya administratif/perkantoran seharusnya disudahi. Pada kenyataannya, penggunaan teknologi informasi jika benar-benar ingin diterapkan, tidak hanya terbatas pada hal tersebut. Ada banyak sekali jenis lapangan pekerjaan di daerah pedesaan yang sangat mungkin ditunjang dengan keberadaan teknologi informasi. Misalnya penyediaan aplikasi jual beli sederhana untuk menghitung penjualan sumber daya alam, kemudahan pencarian lapangan kerja bagi mereka yang membutuhkan, hingga kemudahan pemerintah desa untuk mengelola administrasi penduduk.

Memicu orang di pedesaan sadar teknologi, salah satu caranya harus membuat mereka tertarik dan ”iri hati”. Misalnya dengan menampilkan tayangan dan cerita visual tukang sayur di Jakarta yang telah bertransaksi dengan SMS, atau banyak perajin yang langsung bertransaksi dengan internet untuk mengekspor barang langsung ke luar negeri. Dengan demikian, ketika kesadaran warga sudah muncul, maka masyarakat akan langsung menindaklanjuti dengan fasilitas pendukung.

 

Source gambar : http://evcoafrica.org/welcome/wp-content/uploads/2009/07/bridging-the-digital-divide.jpg